Pulau Sempu di Malang memang populer sebagai alternatif liburan menjelang weekend. Untuk menuju ke Pulau Sempu, pengunjung perlu menempuh perjalanan dari dermaga, dan lanjut jalan kaki. Melelahkan, namun terbayar dengan keindahannya.
Untuk menuju ke sana, kita harus menyambung perjalanan dengan menyewa kapal. Kalau di Palembang sih disebutnya kapal ketek karena bunyi mesinnya yang berbunyi, "etek..ketek..ketek.."Entah kalau di Sendang Biru disebutnya apa, saya juga lupa menanyakannya pada penduduk setempat.
Apa itu Sendang Biru? bukannya kita lagi membicarakan Pulau Sempu? Sendang Biru itu dermaga, mungkin seperti Pelabuhan Merak atau Bakaheuni dalam skala yang lebih besar. Kalau mau main air di sini tidak terlalu disarankan.
Karena memang kurang seru menempuh perjalanan jauh-jauh hanya untuk bermain di Sendang Biru, yang sangat biasa pemandangannya. Belum bau anyirnya yang agak menyengat. Jadi kalau sudah ke Sendang Biru, jangan tanggung-tanggung, sekalian saja menyeberang ke Pulau Sempu.
Tapi, satu yang harus diperhatikan, bahkan wajib untuk diperhatikan bila mau menyambangi Pulau Sempu, yaitu fisik yang kuat. Harus makan dahulu, kalau bisa olahraga dahulu. Lebih bagus kalau latihan jalan jauh selama beberapa hari sebelum ke Pulau Sempu.
Saya dan ketiga temanku yang notabene adalah perempuan semua, agak sombong hari Minggu kemarin. Beberapa masukan dari teman tentang perjalanan ke Pulau Sempu kita anggap remeh, bukan remeh sih, tapi lebih tepatnya kita tanggapi dengan ekspresi datar yang sangat menjengkelkan. Akibat dari perbuatan terpuji kami berempat, alhasil badan kami kepayahan.Ketika perahu mungil itu membawa rombongan tur kami, saya sempat menikmati jajaran pulau yang bentuknya unik-unik. Mulai dari yang panjang berbaris, ada yang seperti gundukan tinggi menyendiri, ada yang sebelahan tapi berjauhan, macam-macam dan lucu-lucu. Cantik! Jadi tidak salah, kalau kemudian yang terbayang di kepala saya itu pulau yang keren, dengan pasir yang putih menggoda, serta desiran ombak kecil yang biru jernih.
Tapi pemandangan indah itu terhapus seketika, ketika mesin perahu tiba-tiba berhenti. Cuma seperti ini Pulau Sempu? Serasa perjalanan 6 jam dari Surabaya tak ada artinya. Terkoyaklah hatiku. Setelah bertanya dengan teman, saya mendapatkan jawaban kalau surganya masih tersembunyi, dan kita harus berjalan dulu. Wahh leganya, tapi kelegaan itu berubah menjadi penasaran. Ketika perjalanan yang harus ditempuh dengan kaki itu terasa amat sangat begitu jauh. Belum 10 menit jalan, sandal jepitku putus. Maklum, tanahnya basah tapi gak begitu becek, jadi kalau pas ketemu yang agak becek, otomatislah alas kaki terjebak dan memakan korban sandal putus. Bukan cuma sandalku yang putus, tapi juga sandal beberapa peserta dalam rombonganku.
1 Setengah jam berlalu sudah, what a life! Di Pulau ini, sama sekali tidak ada kehidupan bisnis. Adanya cuma orang, daun, pohon, binatang pun tak terlihat. Mungkin para binatang juga malas hidup di Pulau Sempu yang serba terjal dan sulit medannya. Perjalanan mulai jam 1, baru sampai surganya hampir jam 3. Kalau jalannya lurus saja sih oke, tapi ini hutan lebat. Untuk pertama kalinya aku berjalan di hutan yang lebat. Alamak rasanya, bukan surga dunia lagi, tapi siksa dunia.
Saya dan ketiga temanku menganggap, perjalanan itu akan terbayar dengan surga yang memang benar-benar indah. Setelah lewat pinggir tebing yang hanya bisa untuk satu orang, dan akhirnya sampai juga di pantainya yang lebih mirip danau. Pantai ini dikelilingi oleh gugusan bukit. Saat pertama lihat sih biasa saja ya, saya malah lebih suka dengan Pantai Papuma.
Setelah puas jeprat sana jepret sini, sedikit menyiksa mas-mas dari tur untuk memotret kami berempat, akhirnya saya dan tiga temanku memilih untuk duduk di pantai yang agak dingin. Bukannya tidak suka main air, hanya saja setelah hampir 2 jam berjalan di hutan yang tanpa sinar matahari, lalu tiba-tiba harus merasakan panasnya cuaca di pantai, rasanya kepala cenat-cenut. Mau main lama-lama takut pingsan, jadi duduk-duduk saja.
Sedikit tak tega melihat kami berempat yang seperti kurang hiburan karena asik dengan pusing masing-masing, bapak yang menjadi guide kami selama berjalan di hutan pun menyarankan untuk naik ke atas karang. Katanya pemandangan di sana jauh lebih bagus. Akhirnya saya dan dua temanku luluh, mengikuti langkah kaki bapak itu. Sementara yang satu lagi lebih memilih menjaga barang bawaan.
Dan benar saja, pemandangannya memang jauh lebih garang, lebih sangar, lebih oke. Jadi ya akhirnya kita jeprat-jepret, malah bapaknya yang menyarankan angle ini, angle itu, sudah sangat ahli rupanya si bapak. Setelah puas berfoto, kami turun ke bawah, duduk, ngobrol, makan camilan, lama-lama bosan juga. Lihat jam, masih jam 4 kurang seperempat, saya dan tiga temanku memutuskan untuk naik duluan. Kembali ke pintu Pulau Sempu, yang berarti harus berjalan 1 setengah jam lagi, waduhhhh!
Hampir jam setengah 6, rombongan sampai di pintu masuk Pulau Sempu. Banyak sekali ekspresi rombongan saat itu. Mulai dari yang bilang Alhamdulillah, Allahu Akbar, banyaklah, sampai ada juga yang sampai terbengong-bengong. Di sana sama sekali tidak ada sinyal. Begitu sampai di pintu masuk Sempu, ponsel bergetar, siapa lagi kalau bukan dari orang yang paling mengkhawatirkanku, si Mama.
Dengan kepala yang cenat-cenut, naik kapal dengan seperempat tenaga yang tersisa dan dehidrasi yang lumayan menyiksa. Air begitu sangat berharga hari Minggu kemarin. Tapi perjalanan kembali ke Sendang Biru sangat menghibur. Melihat kembali jajaran pulau yang cantik itu, di salah satu sudut langit mulai memerah, matahari mulai lelah dan berniat turun, tapi awan masih saja ingin tetap eksis.
Ia menutupi sebagian kilau matahari sore, Subhanallah cantiknya luar biasa! Inginku ambil kamera dari dalam tas, tapi tenaga sudah seperempat, jadi biarlah kecantikan langit Malang Selatan terekam dalam ingatanku saja. Atau Anda yang akan merekam selanjutnya?
Pulau Sempu Malang